Sejumlah pelaku usaha di sektor hotel, restoran, kafe, dan industri khawatir memutar musik di tempat usahanya terjerat pidana.

Menurut aturan yang berlaku, setiap musik atau lagu yang diperdengarkan di ruang publik dikategorikan sebagai kegiatan komersial dan dikenakan biaya royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menjelaskan, tarif royalti untuk hotel dihitung per kamar, sedangkan untuk restoran dihitung per kursi, dengan pembayaran dilakukan setahun sekali.

Kalau satu kursi dikenakan Rp120 ribu per tahun, maka restoran dengan 20 kursi membayar Rp2,4 juta, sedangkan jumlah besar bisa mencapai puluhan juta rupiah,” ujarnya.

Detail perhitungan tarif sepenuhnya ditetapkan LMKN bersama pemerintah. Pihak pelaku usaha tidak terlibat dalam proses penetapan tersebut, sehingga Menimbulkan perbedaan pandangan terkait kewajaran tarif.

Baca Juga : Apakah Karyawan Swasta Pabrik Libur 18 Agustus??

Ketua Umum PHRI Hariyadi B. Sukamdani menilai permasalahan ini berakar pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang dianggap tidak sesuai perkembangan zaman, khususnya di era digital. Menurutnya aturan tersebut memiliki cakupan terlalu luas karena menganggap seluruh musik di ruang publik sebagai kegiatan komersial, termasuk yang diputar di warung makan sederhana.

Hariyadi (Ketua PHRI) menegaskan perlunya revisi UU Hak Cipta, terutama pada sistem pemungutan dan distribusi royalti. Ia mengusulkan penggunaan platform digital yang mampu memantau lagu yang diputar secara real-time, sehingga royalti bisa disalurkan langsung kepada pencipta secara transparan.

Selain itu, ia mengkritik beban tarif yang tinggi, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah, serta menyatakan bahwa sengketa royalti sebaiknya dipandang sebagai perkara perdata, bukan pidana. Hal ini untuk menghindari kriminalisasi terhadap pelaku usaha, seperti kasus yang menimpa Direktur Mie Gacoan Bali.

Hariyadi pun mengajukan empat poin revisi penting: pengecualian bagi pencipta yang belum menjadi anggota LMK, kewajiban hanya untuk lagu yang terdaftar di Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), penghapusan dana cadangan jika sudah menggunakan sistem digital, serta evaluasi pasal yang tidak relevan jika teknologi digital telah diterapkan sepenuhnya.

“Undang-undang ini perlu disempurnakan, tarif dihitung ulang, dan sistem digital dimaksimalkan secara transparan. Dengan begitu, baik pencipta lagu maupun pelaku usaha bisa mendapatkan keadilan,” pungkasnya.

Baca Juga The Unique myth of Javanese Culture Food