Surakarta, 16 agustus 2025,
Di balik gemerlap nama besar Sritex sebagai ikon industri tekstil nasional, muncul narasi gelap yang tak bisa dipungkiri: sang pemimpin perusahaan kini tergelincir dalam pusaran hukum korupsi kredit bank seolah menjadi air mata yang menetes bukan karena penyesalan, melainkan untuk menyamarkan dosa.
1. Tetesan Air Mata dalam Jeruji: Drama yang Mengiris
Pada hari Rabu, 13 Agustus 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Dirut PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto, sebagai tersangka kasus korupsi pemberian kredit bank. Usai ditetapkan, ia langsung ditahan dan sempat mengeluarkan ucapan bahwa ia hanya “menandatangani dokumen atas perintah presdir”, seraya menegaskan: “Saya tidak terlibat.”
Airmata yang mungkin menetes saat ia berjalan ke mobil tahanan menyiratkan penyesalan atau sandiwara yang membangkitkan pertanyaan besar: apakah ini air mata tulus atau sebatas air mata buaya?
2. Skala Korupsi: RTA Besar yang Mengguncang
Kredit dari beberapa bank daerah Bank DKI, BJB, dan Bank Jateng diberikan kepada Sritex tanpa prosedur yang benar, hingga negara dirugikan hingga Rp 1,088 triliun. Total besaran ini mencakup kredit macet dari Bank DKI sebesar Rp 149 miliar, BJB sebesar Rp 543 miliar, dan Bank Jateng Rp 395 miliar.
Sebelumnya, penyelidikan Kejagung mencatat kredit yang macet bahkan mencapai Rp 3,5 triliun per Oktober 2024, dengan kerugian negara sekitar Rp 692 miliar akibat praktik pemberian kredit secara melawan hukum.

3. Jaringan Korupsi: Lebih Luas dari Sekadar Eksekutornya
Korupsi ini melibatkan lebih dari satu aktor. Kejagung telah menetapkan setidaknya dua petinggi bank sebagai tersangka: Direktur Utama Bank DKI saat itu, Zainuddin Mappa (ZM), dan pimpinan Divisi Komersial & Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata (DS).
Kasus ini terus berkembang. Beberapa pekan sebelumnya, istri Iwan yang juga Komisaris PT Sritex, bernama Megawati diperiksa sebagai saksi oleh Kejagung. Ini memperkuat dugaan bahwa korupsi ini berjalan lewat jaringan keluarga dan institusi yang lebih luas.
4. Ironi: Air Mata di Tengah Buruh yang Tersisa
Di ruang penahanan, saat kamera merekam, Iwan terlihat lemas. Mungkin ada air mata. Namun, di pabrik-pabrik Sritex di Solo dan sekitarnya, buruh tetap berkeringat sebagian bahkan dirumahkan karena krisis keuangan yang mungkin turut dipicu oleh korupsi ini. Korban tetaplah rakyat kecil, yang paling merasakan dampak, sementara elite berdiri di balik tegasnya jeruji. Inilah ironi yang menyayat: air mata seorang penguasa mengalir, tapi keadilan masih jauh dari tangannya.