NTT – Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo, prajurit TNI berusia 20 tahun, memicu kembali perbincangan tentang budaya kekerasan TNI dan impunitas di tubuh militer. Lucky, yang baru dua bulan bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan/834 Waka Nga Mere, diduga dianiaya oleh 20 seniornya pada 6 Agustus lalu.
TNI AD menyebut insiden itu terjadi dalam rangka “pembinaan”, namun para pengamat menilai praktik kekerasan semacam ini adalah warisan kultur lama yang terus berulang akibat lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan pimpinan.
Ayah Lucky, Serma Kristian Namo, yang juga seorang prajurit, meluapkan amarahnya di RS Wirasakti Kupang karena autopsi tidak dilakukan. Ibunda Lucky, Sepriana Paulina Mirpey, bahkan berlutut di hadapan Pangdam Udayana Mayjen Piek Budyakto, memohon agar pelaku dihukum mati dan dipecat.
Diplomat Kemlu Ditemukan Tewas Mengenaskan, Kepala Terbungkus Plastik dan Lakban
Menurut keterangan keluarga, Lucky sempat melarikan diri dari barak pada Juli karena tak tahan dianiaya. Namun ia ditemukan seniornya, dibawa kembali, dan kembali disiksa. Hasil pemeriksaan RSUD Aeramo menemukan luka memar, bekas sundutan rokok, dan luka benda tajam di tubuhnya.

Polisi Militer Kodam Udayana telah menetapkan 20 prajurit sebagai tersangka, termasuk komandan peleton Lucky. Mereka dijerat pasal berbeda, salah satunya Pasal 132 KUHPM yang mengatur sanksi untuk atasan yang membiarkan kekerasan.
Kajian akademis Kapten Nazar Roikhansyah Arif mengungkap, kekerasan di TNI kerap berulang karena faktor latar belakang prajurit, pengalaman masa lalu sebagai korban, dan minimnya arahan pimpinan. Pola kekerasan dari senior ke junior ini, tulisnya, telah mengakar menjadi budaya organisasi yang sulit dihapus.