Home / LUNA BERITA / Menkeu Purbaya Sorot IMF ‘Bodoh’ di Panggung Publik

Menkeu Purbaya Sorot IMF ‘Bodoh’ di Panggung Publik

purbaya

Pernyataan lama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menjadi sorotan publik setelah dirinya resmi masuk Kabinet Merah Putih. Saat masih menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ia pernah menyebut Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai lembaga “bodoh” dalam forum investasi bertajuk Investment Forum 2025: Strategi Perkuat Pasar Keuangan di Era Perang Dagang.

“Kalau saya, tidak percaya IMF. Bagi saya IMF itu bodoh. Lihat saja rekam jejaknya,” ujar Purbaya pada 16 Mei 2025. Ia mencontohkan proyeksi IMF tahun 2009 yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2,5 persen, sementara realisasinya justru 4,6 persen. Menurutnya, melesetnya hampir 100 persen membuat prediksi IMF tidak layak dipercaya. Purbaya juga menyinggung tahun 2020, ketika IMF memprediksi pertumbuhan 0,5 persen, sedangkan realitasnya kontraksi -2,1 persen.

BACA JUGA :
Jokowi Sebut “Orang Besar” Jadi Dalang Isu Ijazah Gibran Dan Dirinya

Dalam rekaman penuh, Purbaya sebenarnya menekankan pentingnya optimisme terhadap ekonomi nasional agar Indonesia bisa berdiri di atas kaki sendiri. Namun, potongan video dengan pernyataan “IMF bodoh” kemudian beredar luas di Facebook dan Instagram.

Tim Cek Fakta Kompas.com kemudian menelusuri klaim data tersebut. Pertumbuhan ekonomi 2009 memang tercatat 4,7 persen, bukan 4,6 persen. Akan tetapi, angka proyeksi IMF sebesar 2,5 persen yang dikutip Purbaya tidak ditemukan dalam laporan resmi IMF. Berdasarkan Indonesia: 2009 Article IV Consultation, IMF justru memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 3–4 persen.

Sementara untuk tahun 2019–2020, IMF memproyeksikan ekonomi Indonesia tetap stabil di level 5,2 persen sebelum pandemi Covid-19 melanda. Setelah krisis global menghantam, pertumbuhan riil 2020 justru -2,1 persen, berbeda jauh dari perkiraan awal. Pada laporan berikutnya, IMF menyesuaikan proyeksinya untuk 2021 sebesar 4,8 persen, sedangkan realisasi tercatat 3,7 persen.

Sentimen negatif terhadap IMF sendiri bukan hal baru di Indonesia. Kenangan pahit krisis 1997–1998, saat pemerintah menerima paket bailout IMF, meninggalkan trauma kolektif. Kala itu, syarat yang diajukan IMF berupa penghentian subsidi dan reformasi struktural justru memicu kegoncangan sosial-politik. Meski pada akhirnya Indonesia berhasil pulih dan melunasi utang IMF pada 2006, empat tahun lebih cepat dari jadwal, stigma buruk terhadap lembaga tersebut tetap melekat hingga kini.

Kemandirian ekonomi nasional memang patut diperjuangkan, namun kritik terhadap lembaga internasional seperti IMF sebaiknya tetap berpijak pada data akurat dan dapat diverifikasi.

Source : Kompas