Jakarta ~ Kompetisi sepak bola kelompok umur di Indonesia terus berkembang dan menunjukkan dampak positif, bukan hanya dari sisi pembinaan atlet muda, tetapi juga sebagai penggerak roda ekonomi dalam industri olahraga nasional.
Setiap tahun, ratusan turnamen untuk kelompok usia mulai dari U-9, U-11, U-13, hingga U-17 digelar rutin di berbagai daerah oleh berbagai penyelenggara seperti sekolah sepak bola (SSB), akademi, operator swasta, hingga dukungan langsung dari PSSI dan pemerintah melalui program pembinaan usia dini.
Menurut Deputi Bidang Industri Olahraga Kemenpora, R Isnanta, kompetisi usia dini kini telah masuk ke dalam ekosistem industri olahraga yang memiliki potensi ekonomi signifikan.
“Berbicara soal industri, pasti bicara faktor ekonomi. Kalau event bisa terus berjalan, artinya ada potensi keuntungan yang dilihat para operator,” ujarnya dalam keterangan pers, Minggu (3/8/2025).
Operator Sepak Bola Ramai, Ekonomi Berputar
Indonesia memiliki banyak operator sepak bola usia muda, seperti Liga TopSkor, Indonesia Grassroot Championship, hingga lebih dari 15 operator lainnya yang tergabung dalam APSUMSI (Asosiasi Pembina Sepak Bola Usia Muda Seluruh Indonesia). Di antaranya adalah FORSGI, BLiSPI, GEAS Indonesia, FOSSBI, Liga Sentra, DCT, dan lain-lain.
Setiap operator rutin menggelar turnamen berjenjang dari tingkat lokal hingga nasional, dengan melibatkan rata-rata lebih dari 2.000 atlet per operator. Jumlah ini belum termasuk pelatih, ofisial, orang tua, dan penonton yang ikut berkontribusi dalam aktivitas ekonomi di sekitar event.
Menurut Isnanta, jika dihitung secara kasar, biaya pendaftaran satu klub bisa mencapai Rp500 ribu per turnamen. Bila diikuti ribuan klub, maka sudah ada potensi puluhan miliar rupiah hanya dari pendaftaran saja.
“Kalau satu tim mengeluarkan Rp25 juta per kompetisi dan ada sekitar 5.000 tim, maka perputaran uang bisa mencapai Rp125 miliar. Dan ini belum termasuk pengeluaran untuk akomodasi, konsumsi, transportasi, hingga logistik lainnya,” lanjutnya.
Contoh Kasus: Piala Soeratin Jawa Timur
Potensi ekonomi dari sepak bola usia muda juga terlihat dalam penyelenggaraan Piala Soeratin Jawa Timur 2025. Menurut Sekretaris PSSI Jatim, Djoko Tetuko, turnamen ini tidak hanya jadi ajang pencarian bakat muda, tetapi juga menghidupkan ekonomi lokal.
“Untuk tiga kelompok usia saja, biaya operasional kami mencapai Rp3,5 miliar, termasuk lapangan, wasit, keamanan, dan akomodasi. Jika ditambah belanja klub dan konsumsi penonton, total perputaran uang bisa lebih dari Rp10 miliar,” katanya.
Daya Tarik Sponsor dan Ekosistem
Isnanta juga menambahkan, banyak operator yang kini tidak hanya mengandalkan biaya pendaftaran, tapi juga telah menjalin kerja sama jangka panjang dengan sponsor utama maupun pendamping. Ini menunjukkan bahwa industri sepak bola usia muda sudah memiliki daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha dan merek komersial.
Dengan begitu, sepak bola usia dini tak hanya menjadi fondasi pembinaan atlet nasional, tapi juga salah satu pilar baru dalam ekonomi olahraga Indonesia.